Tugu Kujang Bogor – Seperti yang kita ketahui bahwa semua daerah di Indonesia memiliki lambang atau ikon kotanya sendiri yang menjadi ciri khas.
Simbol ini umumnya akan terletak di tengah kota dan menjadi kejayaan yang mencirikan sebuah kota beserta sejarah di masa lampau.
Tugu Kujang merupakan ikon kota Bogor bentuknya menyerupai sebuah senjata pusaka yang berasal dari Jawa Barat.
Tugu Kujang dibangun pada 4 Mei 1982 pada masa pemerintahan walikota Achmad Sobana dengan biaya pembangunan mencapai 80 juta.
Sejarah Tugu Kujang Bogor
Tugu Kujang tersebut berdiri kokoh dan megah dengan ukuran tinggi sekitar 25 meter dan di atas sebuah lahan dengan luas 26 m x 23 m. Pembangunan Tugu Kujang itu sendiri konon menghabiskan biaya hingga 80 juta pada masa itu.
Tugu Kujang Bogor – Kota Bogor memiliki suatu bangunan yang menjadi simbol atau lambang yang menjadikannya sebagai ciri khas. Tugu Kujang yang berada di suatu tempat putaran yang ada di wilayah pusat Kota Bogor.
Tugu Kujang Bogor ini berada di Jalan Pajajaran didepan Botanical Square yang bersebelahan dengan kampus IPB, dan diujung jalan dari Kebun Raya Bogor.
Dari persimpangan jalan di Tugu Kujang Bogor, kita dapat memandang ikon Kota Bogor yang lainnya, yaitu Gunung Salak. Terutama pada saat kondisi cuaca yang sedang cerah di pagi hingga menjelang petang.
Pimpinan proyek pembangunan Tugu Kujang Bogor pernah dibuat pusing tujuh keliling sekaligus heran. Musababnya, saat proses peletakan tugu sering kali jatuh tanpa sebab yang pasti.
Merasa ada yang janggal dan diluar nalar, pimpinan proyek lalu menanyakan perihal kerap jatuhnya tugu tersebut ke ‘orang pintar’.
Terungkap penyebab sering jatuhnya tugu lantaran arah kujang yang akan dipasang harus mengarah ke Istana Bogor.
Mendapat petunjuk tersebut, pemimpin proyek akhirnya mengikuti perintah tersebut dan benar saja kujang tersebut berhasil berdiri tegak.
Tugu Kujang Bogor – Setiap peringatan Hari Jadi Kota Bogor, Tugu Kujang wajib dibersihkan. Prosesi pembersihan tugu dikenal dengan nama Ngumbah Tugu Kujang. Untuk mencuci Tugu Kujang tidak menggunakan sembarang air, tapi berasal dari tujuh sumber mata air yang ada di Kota Bogor.
Di antaranya mata air Cidangiang, Cibogor, dan Kahuripan yang berada di Kebun Raya Bogor. Ketujuh mata air dari dulu sampai sekarang dipercaya sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat Kota Bogor.
Tugu Kujang Bogor – Asal mula nama Kujang yang digunakan yaitu diambil dari nama sebuah senjata tradisional yang merupakan nama senjata pusaka dari etnis Sunda atau suku Sunda yang konon dipercaya memiliki kekuatan ghaib.
Pusaka atau senjata kujang tersebut merupakan senjata yang sudah ada sejak abad ke-14 masehi yaitu pada masa pemerintahan kerajaan Prabu Siliwangi.
Nama Kujang sendiri diambil dari nama sebuah senjata pusaka tradisional etnis Sunda yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Pusaka Kujang itu sendiri sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Pajajaran pada abad ke-14 Masehi, di masa pemerintahan Prabu Siliwangi.
Tugu Kujang Bogor – Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis.
Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Baca Artikel Menarik Lainnya :
Kuliner di Bogor yang Murah dan Enak: Surya Kencana Bogor Kuliner
Senjata Kujang awalnya digunakan sebagai alat pertanian oleh masyarakat suku Sunda pada jaman dahulu namun, saat adanya penjajahan oleh bangsa asing senjata tersebut akhirnya dijadikan sebagai senjata untuk melawan dan mengusir para penjajah.
Karena memang pada masa itu rakyat Indonesia sendiri termasuk yang ada di suku Sunda belum memiliki persenjataan yang lengkap dan modern sehingga mereka menggunakan alat seadanya untuk melakukan peperangan.
Namun, meski begitu ternyata terbukti bahwa para pejuang mampu melawan penjajah dan mengambil kembali kekuasaan wilayah Indonesia meski hanya menggunakan senjata sederhana. Oleh sebab itu senjata Kujang tersebut dijadikan sebagai pusaka.
Tugu Kujang Bogor – Pada bangunan atau tugu simbol Kota Bogor tersebut dibuatkan ornament Kujang yang berdiri kokoh dengan berat sekitar 800 kg dan dengan tinggi 7 meter. Agar ornamen pusaka tersebut semakin menarik maka dilapisi dengan bahan stainless stell, tembaga, dan bahan kuningan.
Hingga kini Tugu Kujang tersebut dikenal sebagai lambang kota Bogor dan tetap berdiri megah.
Selain itu dibelakang Tugu Kujang terlihat pemandangan Gunung Salak yang menjadikannya semakin indah dipandang.
Untuk melestarikannya, tugu tersebut juga terus dilakukan perawatan agar terjaga kelestarian dan kekokohan bangunan tersebut.
Namun, sayang kini keberadaan Tugu bersama dengan Gunung Salak di balik latarnya telah sulit dilihat karena terhalang oleh bangunan hotel yang dibangun dan berdiri megah sehingga menghalangi pemandangan Gunung Salak tersebut.
Arti Tulisan Tepas Lawang Salapan Dasakreta
Salapan Lawang merupakan merupakan simbol filosofi utama Pakuan Pajajaran, yakni Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh. Tepas Salapan juga akan selalu mengingatkan warga terkait sembilan pintu menuju kesejahteraan.
Sembilan acuan kesejahteraan itu, di antaranya kedamaian, persahabatan, keindahan, kesatuan, kesantunan, ketertiban, kenyamanan, keramahan, dan keselamatan. Sedangkan, Dasakreta bermakna tentang 10 hal yang harus dijaga dari perilaku buruk, terkait jasmaniah dan rohaniah.
Tujuannya agar setiap orang bisa dekat pada keutamaan amalan baik dan terhindar dari perilaku buruk menyangkut telinga, mata, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki, dubur (tumbung), dan kelamin (baga-purusa).
Tepas Salapan Lawang Dasakerta (TSLD). Dalam bahasa Indonesia berarti Teras Sembilan Pintu ‘Dasakerta’.
TLSD hadir mendampingi dan sekaligus memperkuat kembali eksistensi Tugu Kujang yang telah berdiri sejak 1982.
TSLD menjadi simbol pintu masuk ke Kota Bogor. Sekaligus melambangkan sebuah tepas (teras atau beranda) dari sebuah hunian warga Sunda yang selalu terbuka menyambut para tamunya dengan penuh keramahan. Teras ini juga dirancang untuk menjadi sebuah pelataran dan ruang publik terbuka.
TSLD didesain dengan sarat makna peninggalan pusaka kota. Kesepuluh tiang tersebut sekaligus menghadirkan sembilan pintu (salapan lawang).
Ini melambangkan sembilan titik ‘pintu’ yang ada pada raga manusia dan menjadi penghubung bagian tubuh manusia dengan alam semesta.
Selain itu lawang juga menyiratkan sikap rendah hati. Sikap yang senantiasa ‘ngalawangan’ (mempersilakan-lewat) siapapun untuk masuk ke Kota Bogor.
Sikap itu pula yang terabadikan pada toponimi, seperti Lawang Saketeng, Lawang Gintung, Lawang Suryakancana dan sebagainya.
Secara fisik TSLD terdiri dari pelataran terbuka. Difungsikan untuk para pejalan kaki, termasuk penyandang disabilitas, jalur lintasan pesepeda.
Selain itu terdapat monumen bertiang sepuluh, dua bangunan ‘rotunda’, dan sebuah prasasti yang menyatu dengan tumpuan tiang bendera serta tiga buah dinding yang disiapkan untuk sarana penyampaian informasi Kota Pusaka.
Di puncaknya tertulis semboyan ‘Di nu kiwari ngancik nu bihari, seja ayeuna sampeureun jaga’. Tulisan itu menjadi pengingat bagi siapapun tentang moto Kota Bogor, yang berarti: ‘segala hal di masa kini adalah pusaka masa silam, dan ikhtiar hari ini adalah untuk masa depan’.